PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN DI ERA GLOBALISASI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Istilah
paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Mennurut
Thomas Khun, orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan
bahwa ilmu pada waktu itu didominasi oleh sebuah paradigma. Paradigma adalah
pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan
suatu cabang ilmu pengetahuan.
Inti
sari dari pengertian paradigma adalah suatu asumsi asumsi teoretis yang umum
(merupakan suatu sumber lain), sehingga merupakaan suatu sumber hukum-hukum,
metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan
sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Paradigmamenjadi
suatu alat bantu bagi para ilmuwan dalam mengatasi persoalan masalah yang harus
dikerjakan, dijawab atau menjadi suatu kerangkan atau acuan yang harus
dijalankan oleh ilmuwan. Dengan paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan
tertentu , seoarang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah
dalam ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak
hanya dakam bidang ilmu pengetahuan saja tapi bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan hukum. Kemudian istilah paradigma berkembang dalam pengertian sebagai
kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, tolok ukur, sumber, orientasi,
parameter arah dan tujuan.
Dengan demikian,
paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal
dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar
pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap
aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai
konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan
kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan
negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak
berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan
bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar
Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut
Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis
tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a.
susunan kodrat manusia terdiri
atas jiwa dan raga
b.
sifat kodrat manusia sebagai
individu sekaligus sosial
c.
kedudukan kodrat manusia sebagai
makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu,
pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat
manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan.
Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara
totalitas.Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat
manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di
berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan,
meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan
makalah ini adalah :
1.
Menuntaskan tugas mata kuliah
pancasila
2.
Memberikan wawasan kepada pembaca
untuk memahami pancasila sebagai paradigma pembangunan di era globalisasi
3.
Mahasiswa dapat mengetahui makna
dan hakikat pembangunan nasional yang berlandaskan pancasila.
4.
Mahasiswa dapat memberi gambaran tentang perubahan pembangunan
nasional
5.
Mahasiswa dapat mengetahui sejarah
pancasila
6.
Mahasiswa dapat memahami pancasila
sebagai paradigma pembangunan politik
C. Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
Sejarah perpolitikan bangsa Indonesia pada masa orde lama?
2.
Bagaimana
Sejarah perpolitikan bangsa Indonesia pada masa orde baru?
3.
Apakah
yang menjadi dasar pembangunan?
4.
Bagaimana
modernisasi politik?
5.
Bagaimana
Pancasila sebagai paradigm pembangunan politik ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan di
Bidang Politik
Warga Indonesia sebagai warga negara harus ditempatkan
sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar sebagai objek politik. Karena pancasila bertolak
dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan yang
dimaksud adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem
politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik
demokrasi bukan otoriter.
Berdasarkan hal tersebut, sistem politik Indonesia
harus dikembangkan atas asas
kerakyatan yaitu terletak pada sila ke IV Pancasila. Pengembangan selanjutnya
adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada
pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral
kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun
penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
1.
Perkembangan
Politik Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam
suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh.
Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan
asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan
perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak
periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945
sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan
era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik
Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur
politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti
sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi
atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik
demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa
Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai
produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang
lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi
konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang
otoriter sebagai esensi feodalisme. Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde
Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum
memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan
(maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan
makmur.
Indonesia menjalankan
pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis.
Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia
didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis
Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang
anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang
anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah
diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya
masing-masing.
Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet.
Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para menteri
bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di
parlemen. Meskipun demikian, Presiden yang diusung oleh Partai juga menunjuk
sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk
menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di
Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa
portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).
Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945
dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah
Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian
keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap
dipertahankan.Sistem Politik berarti
mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam strutkus politik dalam hubungan
satu sama lain yang menunjukkan satu proses yang langgeng. Sistem
Politik Indonesia berarti :
1.
Sistem politik yang
pernah berlaku di Indonesia (masa lampau)
2.
Sistem politik yang
sedang berlaku di Indonesia (masa sekarang)
3.
Sistem politik yang
berlaku selama eksistensi Indonesia masih ada (masa yang akan datang)
Di dalam dunia perpolitikan yang terjadi di Indonesia, kalau semasa orde
lama berbagai percobaan sistem kenegaraan pernah dilakukan oleh Presiden
Soekarno, mulai dari percobaan adopsi demokrasi ala barat yang puritan hingga
demokrasi terpimpin. Namun, ketika orde lama yang dimotori Soekarno tumbang,
naiklah sebuah orde yang dimotori oleh pihak militer ke jenjang kekuasaan
pemerintahan yang dinamakan orde baru. Sesuai dengan jiwa orang-orang yang
berada di balik layar, maka pemerintahan yang bergaya militer dan
berciri-khaskan kebapakan (komandan) serta terkurungnya berbagai kebebasan
madani mulai berkembang.
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang
terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat
sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.
Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu
proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan
sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang
memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan
saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari
pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa
pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan
integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan
keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas
sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan.
Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara
para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan
diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik
dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik
melihatnya dari tingkat prestasi (performance level)
yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar
masyarakat dan lingkungan internasional.Pengaruh ini akan memunculkan perubahan
politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari
kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.Masa transisi
dalam sebuah konstalasi politik negara merupakan periode rekonsolidasi antara
kekuatan politik yang menghendaki perubahan. Rekonsolidasi dilakukan dalam
level elite sekaligus upaya pelibatan basis massa rakyat sebagai pemegang
legitimasi negara. Masa transisi merupakan periode menentukan dalam sebuah
perkembangan politik, sehingga membutuhkan sebuah konsistensi, energi ekstra
dan konsolidasi dari kelompok progresif. Sebab, rekonsolidasi tidak hanya
sekadar menyatukan potensi kekuatan kelompok progresif, yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana mengantisipasi kekuatan status quo (konservatif).
Bahkan, mengawal sebuah perubahan jauh lebih penting dari memulai perubahan.
Indonesia setidaknya telah mencatat dua era transisi yang penting, yakni era
peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi.
Peralihan rezim Orde Lama ke Orde Baru dalam skop nasional selama ini
dipahami melalui buku-buku teks yang memuat kronologi sejarah nasional.
Penulisan sejarah yang ‘monolog’ dan cenderung pro-pemerintah (buku putih Orde
Baru). Sedangkan proses jatuhnya Orde Baru yang masih digolongkan sebagai
sejarah kontemporer dapat diakses secara luas dan variatif. Indonesia yang
menganut sistem negara kesatuan, dalam proses meraih legitimasinya hingga saat
ini, kerap dihadapkan pada permasalahan disintegrasi. Kondisi geografis yang
terdiri dari ribuan pulau, realitas multikultur, etnis, suku, dan agama menjadi
tantangan tersendiri dalam menjaga kukuhnya integritas nasional. Dalam tinjauan
historis, proses konsolidasi para pemuda dapat terwujud melalui ikrar Sumpah
Pemuda pada tahun 1928, yang selanjutnya menjadi bekal peneguhan visi
mewujudkan kemerdekaan, hingga lahirnya konsep negara kesatuan. Perjalanan
sejarah lahirnya negara Indonesia lahir melalui kesamaan visi melepaskan diri
dari imprealisme sekaligus merupakan wujud ikatan emosionil sebagai bangsa
bekas jajahan Belanda.
Ciri Orde Lama, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soekarno adalah Yang Pertama, sistem Presidensial dengan artian
Presiden sebagai kepala negara yang berjalan pada setiap priodik masa jabatan
dan keseimbangan terhadap pemerintah dan rakyat. Yang Kedua, sistem Parlementer dengan artian perdana
mentri sebagai kepala negara, tetapi ada kelemahannya yakni masa jabatannya
sangat singkat dan pemerintahannya tidak stabil adapun kelebihannya pengakuan
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat besar. Yang Ketiga, tentang Demokrasi Terpimpin dengan artian
menjadi kepala negara seumur hidup dan hampir pemerintahannya sangat otoriter.
Adapun kegagalan dan kelebihan pada Orde Lama ada, terutama kegagalan Orde Lama
pada pemerintahan Soekarno adalah masalah ekonomi yang kian turun, stabilitas
politik-keamanan sangat kurang, dan konstitusi yang tidak komitmen. Adapun
keberhasilan pada Orde Lama adalah nation building yang sangat kuat dan
diplomasi luar-negri yang sangat besar terhadap dunia. Akan tetapi menurut para
politik ini semuanya gagal dalam pemerintahan Orde Lama.
Ciri Orde Baru, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto adalah Yang Pertama, wawasan kebangsaan yang sangat lemah dan
bersifat dogmatis atau doktrin yang terlalu berlebihan. Yang Kedua, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang meraja
lela. Yang Ketiga, jiwa dan bathinnya yang kering. Adapun
kegagalan dan kelebihan pada Orde Baru ada, terutama kegagalan Orde Baru pada
pemerintahan Soeharto adalah ketidakadilan dalam sosial baik pemerintah maupun
rakyat jelata sekalipun sehingga timbulah korupsi pada jiwa bangsa ini,
kurangnya membangun keterbukaan politik. Adapun keberhasilan pada Orde Baru
adalah pembangunan fisik, yang amat disayangkan ialah tidak melihat sisi bathin
masyarakat pada masa itu, pertumbuhan ekonomi yang cukup baik saya kira pada
era 1980 hingga 1996-an masyarakat masih merasakan rupiah pada waktu itu sampai
kepada tahap no urut 8 besar, itupun masih ada uang inggris yang tinggi pada
waktu itu, lalu stabilitas politik-keamanan yang sangat kuat dibandingkan pada
masa Orde Baru.
2.
Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
Situasi perpolitikan nasional menjelang runtuhnya Orde Lama, ditandai
dengan pertarungan perebutan pengaruh dan upaya penciptaan hegemoni pada
pemerintahan. Kekuatan yang dominan dan memiliki pengaruh, diantaranya adalah
Militer (Angkatan Darat), Masyumi, PNI, PKI, dan Soekarno. Namun, perkembangan
situasi politik membawa perubahan yang lebih cepat. Semula berhembus isu Dewan
Jenderal yang berada dalam tubuh Angkatan Darat dan dituduh akan melakukan
kudeta. Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S) telah membuka peta
politik menjadi semakin teransparan. Saat itu, PKI menjadi satu-satunya
kelompok yang dituduh sebagai dalang dari upaya kudeta tersebut.Puncak dari
konstalasi politik tersebut menggiring PKI tertuduh sebagai dalang dan pelaku
pemberontakan. Akibatnya, PKI tidak saja terdepak dari kedudukan politiknya di
kabinet maupun di parlemen. Bahkan, militer di bawah kendali Soeharto bersama
kelompok massa demonstran dari kalangan mahasiswa dan pelajar (KAMMI dan KAPPI)
seakan terhipnotis terbawa isu untuk menghancurkan PKI dan jaringan Ormasnya.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi dalam tinjauan
geopolitik Indonesia makro adalah fakta pengulangan sejarah yang menempatkan
sosok presiden sebagai subyek sekaligus obyek perubahan. Namun, secara kontekstual masing-masing memiliki faktor determinisme
kausalitas yang berbeda.Praktik komunikasi politik selalu mengikuti sistem
politik yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik tertutup,
komunikasi politik pada umumnya mengalir dari atas (penguasa) ke bawah
(rakyat). Komunikasi politik semacam itu menerapkan paradigma komunikasi top
down. Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan
dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut,
pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional.
Komunikasi politik semacam ini banyak dipraktikkan para penguasa ketika
Indonesia menganut sistem politik tertutup. Ketika rezim Orde Lama berkuasa,
pesan politik yang mengemuka di media massa pada umumnya berisi konflik,
kontradiksi yang antagonistik, dan hiperbola. Pesan-pesan politik semacam itu
kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa. Pada era ini,
pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan eufemisme.
Meski pada dua era itu berbeda dalam penekanan pesan politiknya, namun
hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linear).
3. Konfigurasi
politik era orde lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden
yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran
Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan
berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan
pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno
mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari
sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang
dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan
mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham
politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif
serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik,
walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul
penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan
“Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan
keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan
nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi
partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus
berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme
Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955
melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara
perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini
berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
1.
Gerakan separatis pada
tahun 1957
2.
Konflik ideologi yang
tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan
total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis
itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka
terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke
UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan
yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra
dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden
tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden
5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang
berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari
pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran
politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.
4.
Konfigurasi politik era orde baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama
ke Orde Baru. Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden
Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada
Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan
negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang
kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada
Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah
mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap
orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan
dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa
Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program
politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali
dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu :
1.
Pertama berwujud
kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan
konsensus utama;
2.
Sedangkan konsensus
kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama.
Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara
umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional
antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini
kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional
memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa
hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan
keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat
konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan
politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada
PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim
terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap
partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi
ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama,
pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak
boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama
sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga
tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi
peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi
peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan
dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula
pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber
Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok
fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini
merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk
organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle
Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang
dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu
menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro
dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan
membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima
oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975
tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali
Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
5.
Partai Politik
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik
mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik
sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan
keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya
empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1. Sarana komunikasi politik
2. Sosialisasi politik
3. Sarana rekruitmen politik
4. Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan
dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana
berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi
kebijakan kenegaraan(fungsi politik).
Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan
mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai
politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin
Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan
menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai
politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu
partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional,
sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik
ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang
akan digunakan dalam suatu pemerintahan.
Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai
kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan
hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian
di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah
perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut
dapat dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk: (a)
untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia
pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa
Indonesia; (c) untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara,
yaitu;
· Kemerdekaan di
bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
· Pemerintahan Negara
yang demokratis;
· Menentukan
Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang
sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut,
secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran
masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
-- Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan
politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada
persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara
pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh
melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
-- Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang
digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat
tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk
meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses
pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga)
tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan
terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan
lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga,
untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara. Dengan demikian, antara partai
politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang
sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya
saling bergantungan dan mengisi.
6.
Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan
demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga
terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian
Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres
No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai
yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut:
PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun,
setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol
tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum
dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka
diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang
menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
7.
Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12
Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik.
Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan
ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka
didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari
Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan
terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai
Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk
kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta
ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok
tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan
terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan
parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya
dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan
Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri
sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat
Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
8.
Latar belakang lahirnya orde baru
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara
kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang
menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965. Orde baru
lahir sebagai upaya untuk :
· Mengoreksi total
penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
· Penataan kembali
seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
· Melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
· Menyusun kembali
kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses
pembangunan bangsa.
Latar belakang lahirnya Orde Baru :
1.
Terjadinya peristiwa
Gerakan 30 September 1965.
2.
Keadaan politik dan
keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965
ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3.
Keadaan perekonomian
semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah
melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya
keresahan masyarakat.
4.
Reaksi keras dan meluas
dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan
oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi
Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5.
Kesatuan aksi
(KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan
Aksi berupa “Front Pancasila” yang
selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk
menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6.
Kesatuan Aksi “Front
Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan
tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
·
Pembubaran PKI berserta
Organisasi Massanya
·
Pembersihan Kabinet
Dwikora
·
Penurunan Harga-harga
barang.
7.
Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966
dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab
rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam
peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8.
Wibawa dan kekuasaan
presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang
terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan
meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9.
Sidang Paripurna kabinet
dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga
berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966
(SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang
dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit
dikendalikan.
Upaya menuju pemerintahan Orde Baru :
o Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada
kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan
pemerintahan.
o Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat
kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan
PKI.
o Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto
menjadi pelaksana pemerintahan.
o Konflik Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya
karena akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada Suharto.
o Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk
mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai
pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan
pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno .
o 12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik
Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan
dimulainya kekuasaan Orde Baru.
o Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai
Presiden Republik Indonesia.
9.
Kehidupan Politik Masa Orde Baru
Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
§ Melakukan pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara.
§ Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna
mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
§ Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen.
§ Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga
negara.
Pelaksanaan Orde Baru :
§ Awalnya kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan.
§ Perkembangannya, kehidupan demokrasi di Indonesia tidak
berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin.
§ Untuk menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan
untuk menganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana terdapat tiga pemisahan
kekuasaan di pemerintahan yaitu Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun
tidak diperhatikan/diabaikan.
Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan kehidupan Politik :
I. Penataan Politik Dalam
Negeri
1.
Pembentukan Kabinet
Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966)
adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan
pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut
:
§
Memperbaiki kehidupan
rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
§
Melaksanakan pemilihan
Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
§
Melaksanakan politik
luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
§ Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai
presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan
nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
§
Penciptaan stabilitas
politik dan ekonomi
§
Penyusunan dan
pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
§
Pelaksanaan Pemilihan
Umum
§
Pengikisan habis
sisa-sisa Gerakan 3o September
§
Pembersihan aparatur
negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
2.
Pembubaran PKI dan
Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan,
serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
§ Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan
dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966.
§ Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi
terlarang di Indonesia.
§ Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang
dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan
bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban.
3.
Penyederhanaan dan
Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi
bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan
(fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi
didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan
tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
§ Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII,
dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok
partai politik Islam)
§ Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik,
Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat
nasionalis).
§ Golongan Karya (Golkar)
4.
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak
enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
§ Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para
pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu
dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
§ Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat
pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
§ Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota
DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
§ Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236
kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai
Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi),
Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam
Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu
kursipun).
2)
Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU
No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga
ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil
dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk
Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3)
Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan
suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di
Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut
kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP
dan PDI kehilangan 5 kursi.
4)
Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari
Pemilu 1987 adalah :
§ PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan
pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam
(pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan
diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
§ Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
§ PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI
sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5)
Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan
perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299
kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat
menjadi 56 kursi.
6)
Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
§ Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan
perolehan kursi 325 kursi.
§ PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan
kursi 27 kursi.
§ PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di
DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI
Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan
kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu
berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas,
dan Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta
tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu
1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat
menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR.
Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan
Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan
dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5.
Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda
bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga
peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan
adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara.
Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan
DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan
pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
6.
Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu
gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan
sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4
secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai
demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan
dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan
tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap
pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah
dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan
pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila
sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi
sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan
sistem sosial masyarakat Indonesia.
II.
Penataan Politik Luar
Negeri
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada
jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri
Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan
nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta
keadilan.
1)
Kembali menjadi anggota
PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari
komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah
Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus
kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka
menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali
ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh
Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara
resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan
dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik
sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya
Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan
dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan
sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde
Lama.
2)
Normalisasi hubungan
dengan beberapa negara
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan
hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan
untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap
Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana
Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan
diplomatic.
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan
perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang
menghasilkan perjanjian Bangkok, yang
berisi:
§ Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah
mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
§ Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
§ Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik
dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini
dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara..
3)
Pendirian ASEAN(Association of South-East
Asian Nations)
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi ASEAN pada
tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang didirikan Organisasi ASEAN
adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara
secara regional dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk membendung perluasan paham
komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang Kamboja. Hubungan kerjasama
yang terjalin adalah dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun
negara yang tergabung dalam ASEAN adalah Indonesia, Thailand,
Malysia, Singapura, dan Filipina.
10. Dampak
Kebijakan Politik dan Ekonomi masa Orde Baru
Dampak positif dari kebijakan politik pemerintah Orba :
§ Pemerintah mampu membangun pondasi yang kuat bagi kekusaan lembaga
kepresidenan yang membuat semakin kuatnya peran negara dalam masyarakat.
§ Situasi keamanan pada masa Orde Baru relatif aman dan terjaga dengan baik karena
pemerintah mampu mengatasi semua tindakan dan sikap yang dianggap bertentangan
dengan Pancasila.
§ Dilakukan peleburan partai dimaksudkan agar pemerintah dapat mengontrol
parpol.
Dampak negatif dari kebijakan politik pemerintah Orba:
§
Terbentuk pemerintahan
orde baru yang bersifat otoriter, dominatif, dan sentralistis.
§
Otoritarianisme merambah
segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk
kehidupan politik yang sangat merugikan rakyat.
§
Pemerintah Orde Baru
gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik dan benar kepada rakyat
Indonesia. Golkar menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang
diinginkan, sementara 2 partai lainnya hanya sebagai boneka agar tercipta citra
sebagai negara demokrasi.
§
Sistem perwakilan
bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah
kekuasaan secara sepihak. Dalam setiap pemilhan presiden melalui MPR
Suharto selalu terpilih.
§
Demokratisasi yang
terbentuk didasarkan pada KKN(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)sehingga banyak
wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang
diwakilinya.
§
Kebijakan politik
teramat birokratis, tidak demokratis, dan cenderung KKN.
§
Dwifungsi ABRI terlalu
mengakar masuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan pada
bidang-bidang yang seharusnya masyarakat yang berperan besar terisi oleh
personel TNI dan Polri. Dunia bisnis tidak luput dari intervensi
TNI/Polri.
§
Kondisi politik lebih
payah dengan adanya upaya penegakan hukum yang sangat lemah. Dimana hukum hanya
diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang berkuasa sehingga tidak mampu
mengadili para konglomerat yang telah menghabisi uang rakyat.
Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
§
Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan
hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit.
§
Indonesia mengubah
status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi
kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
§
Penurunan angka
kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
§
Penurunan angka kematian
bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat.
Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
§
Kerusakan serta
pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam
§ Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam.
§ Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
§ Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme)
§ Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian
kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
§ Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
§ Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan
ekonomi sangat rapuh.
§ Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah
yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur,
dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya
perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru :
§ perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968
hanya AS $70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
§ sukses transmigrasi
§ sukses KB
§ sukses memerangi buta huruf
§ sukses swasembada pangan
§ pengangguran minimum
§ sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
§ sukses Gerakan Wajib Belajar
§ sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
§ sukses keamanan dalam negeri
§ Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
§ sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru :
§
semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
§
pembangunan Indonesia yang
tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan
daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian
besar disedot ke pusat
§
munculnya rasa
ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di
Aceh dan Papua
§
kecemburuan antara
penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah
yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
§
bertambahnya kesenjangan
sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
11.
Pembangunan
Politik era Reformasi
Indonesia
merupakan bangsa yang besar dan telah merdeka selama lebih dari 64 tahun. Dalam
perjalanannya, Indonesia mengalami berbagai macam perubahan metode sistem
pemerintahan. Mulai dari RIS, Sistem Parlementer hingga Sistem demokrasi
terpimpin. Perubahan sistem pemerintahan tersebut dianggap sebuah kewajaran
karena Indonesia saat itu masih baru merdeka sehingga masih mencari sistem
pemerintahan yang baik untuk diterapkan. Kemudian pada masa orde baru, pembangunan
politik lebih mengarah kepada pelanggengan kekuasaan atau hegemoni dari pihak penguasa. Hal tersebut
ditandai dengan adanya fusi partaiyang diterapkan pada Pemilu tahun 1977.
Artinya Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Presiden dapat mengurangi ancaman
maupun tekanan dari pihak partai lain selain dari Golkar yang menghalangi dia
untuk terus menjadi Presiden. Buktinya adalah Soeharto dapat menjabat sebagai
Presiden selama 32 tahun.
Akhirnya
pada krisis moneter yang dirasakan Indonesia sejak tahun 1993, munculah sebuah
wacana tentang suksesi yang
dilontarkan oleh Amien Rais untuk menggulingkan rezim Soeharto. Puncaknya
adalah pada Mei 1998, yaitu adanya tuntutan untuk reformasi dan turunnya
Soeharto dari kursi kepemimpinan beserta kroninya yang dianggap telah membuat
Indonesia mencapai puncak krisis yang paling parah. Sampai pada akhirnya
Soeharto mengundurkan diri karena desakan dari parlemen dan mundurnya beberapa
menteri dari kabinet waktu itu.
Gaffar, Afan, 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta : Pustaka pelajar
Ibid. hal 78
Najib, Supan.dkk. 1998. Suara Amien Rais Suara Rakyat. Jakarta : Gema
Insani Press
Chrisnandi, Yuddi. 2008. Beyond Parlemen. Jakarta :
Ind Hill Co
Setelah turunnya
Soeharto, kembali tumbuh masalah baru. Presiden berikutnya yaitu B.J Habibie
mengumumkan untuk membuka kran demokrasi selebar-lebarnya yang artinya
masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara,
bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya sendiri,
masyarakat serta bangsa dan negara. Setelah adanya pembukaan kran demokrasi
yang luas seperti ini, masyarakat Timor Leste seakan mendapatkan kebebasan
untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh
Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada masa orde baru tidak
melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil kekayaan mereka
dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan masyarakat
Timor Leste.
Penyebab ini yang
akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI.
B.J Habibie selaku kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk
kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan ibu
pertiwi.
Hal diatas sedikit
banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia tentang arti $$demokrasi
yang diterapkan di Indonesia. Kejadian lepasnya Timor Leste dari NKRI
menunjukkan bahwa rapuhnya sistem demokrasi yang dibangun oleh Indonesia saat
itu. Pembangunan nilai demokrasi yang seharusnya diawali dari pemerintahan saat
itu guna menjaga dan menyosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya tidak
menggunakannya dengan benar. Sampai pada akhirnya berganti Presiden hingga saat
ini.
Kebebasan
berdemokrasi dan politik membuat
Indonesia terjebak dalam sebuah sistem “demokrasi kebablasan” artinya masyarakat Indonesia saat ini
menjalankan demokrasi yang tidak dibatasi dalam peraturan dan perundang –
undangan. Meskipun ada beberapa UU yang mengatur soal itu, banyaknya
penyimpangan yang mengatasnamakan demokrasi seolah mengalahkan UU yang dibuat.
Demokrasi yang terlalu bebas ini juga menjadikan masalah baru bagi masyarakat
yang taraf hidupnya rendah. Kebebasan berdemokrasi justru membuat rakyat miskin
makin kekurangan karena tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam berdemokrasi
selayaknya masyarakat kalangan elit. Adanya kesenjangan sosial yang cukup jauh
ini, menyebabkan timbulnya beberapa macam akibat seperti vandalism,
keberpihakan negara terhadap elit sampai
yang terparah adalah pemotongan hak – hak yang seharusnya diberikan kepada
masyarakat miskin.
Chusnanto, Masri.dkk. 2007. Politik dan Kebebasan.
Sarwono kusumaatmadja (Ed). Jakarta : Koekoesan
Ibid. hal 35
Chusnanto, Masri.dkk. 2007. Politik dan Kemiskinan.
Sarwono kusumaatmadja (Ed). Jakarta : Koekoesan
Ibid. hal 21
Ibid hal 28
Timbulnya
vandalisme dalam berdemokrasi tidak lain dan tidak bukan adalah karena
ketidakmerataan pembangunan pemerintah yang berdampak pada kondisi psikologis
masyarakat dan menimbulkan dampak iri terhadap masyarakat yang merasakan
pembangunan. Begitu juga dengan keberpihakan negara pada kaum elit yang seakan
menekan rakyat miskin guna memenuhi kepentingan elit semata seperti kasus
penggusuran yang diperuntukkan membangun perumahan dan gedung – gedung tinggi
yang dikuasai oleh para elit. Kebijakan subsidi juga menjadi sebuah masalah baru.
Adanya pemotongan dana subsidi dari pemerintah daerah juga merupakan contoh
buruk demokrasi yang dikembangkan Indonesia saat ini. Ketika ini terjadi dan
sudah banyak diekspos oleh media, pemerintah hanya diam seribu bahasa. Tidak
ada penindakan dan langkah konkrit dari pemerintah untuk menangani hal ini.
Akhirnya kesimpulan
dari penulis adalah demokrasi yang pada awalnya mempunyai konsep yang bagus dan
dapat dilaksanakan di Indonesia dengan baik mempunyai banyak penyimpangan yang
tidak perlu. Kurangnya pemahaman dari elit politik tentang demokrasi juga patut
menjadi pekerjaan bersama, artinya para elit politik dalam pemerintahan dapat
mengetahui arti dari demokrasi yang sebenarnya sehingga mereka dapat memberikan
contoh kepada masyarakat luas tentang demokrasi yang seharusnya dijalankan oleh
Indonesia. Pembangunan yang dilakukan juga haruslah merata agar dapat
meminimalisir akibat yang nantinya akan ditimbulkan.
Chrisnandi, Yuddi. 2008. Beyond Parlemen. Jakarta :
Ind Hill Co
B. Landasan
ideal pembangunanadalahpancasila
Ini
berarti bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dengan dijiwai ketuhanan Yang
Maha Esa, berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan mementingkan
persatuan Indonesia, dengan berpedoman kepada kerakyatan yang
dipimpinolehhikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta untuk mewujudkan
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (prof. Darjidamodiharjo, S.H.,
1970:86)
Dalam bidang politik
dalam negeri dimantapkan kesadaran kehidupan politik dan kenegaraan berdasarkan
pancasila dan uud 45 bagi setiap warga Negara sehingga dapat terjamin kelancaran
usaha mencapai tujuan nasional.
Dalam rangka mencapai
sasaran itu termasuk didalamnya usaha-usaha untuk menciptakan, mengkonsolidasikan,
dan memanfaatkan kondisi serta situasi untuk memungkinkan terlaksananya proses
pembaharuan kehidupan politik sehingga dapat diciptakan keadaan dengan system
politik yang benar-benar demokratis, stabil, dinamis, efektif, dan efisien yang
dapat memperkuat kehidupan konstitusional, mewujudkan pemerintahan yang bersih,
berkemampuan, dan berwibawa . pengawasan oleh DPR yang semakin efektif serta terwujudnya
kesadaran dan kepastian hukum dalam masyarakat yang semakin mantap.
Dalam bidang politik
luar negeri yang bebas aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan
peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian
dunia yang abadi. adil, dan sejahtera
C.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan di
Bidang Politik
Warga Indonesia sebagai warga negara harus ditempatkan
sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar sebagai objek politik. Karena pancasila bertolak
dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan yang
dimaksud adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem
politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik
demokrasi bukan otoriter.
Berdasarkan hal tersebut, sistem politik Indonesia
harus dikembangkan atas asas
kerakyatan yaitu terletak pada sila ke IV Pancasila. Pengembangan selanjutnya
adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada
pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral
kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun
penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
D.
Pembangunan politiksebagaimodernisasipolitik
Pandangan bahwa pembangunan politik merupakan keidupan
politik yang khas dan ideal dari masyarakat industry berkaitan erat dengan pandangan
bahwa pembangunan politik sama dengan modernisasi politik. Negara–negara
industry maju adalah pembuat mode dan pelopor dalam hampir setiap segikehidupan
social, ekonomi, karena itu dapat dimengerti bila banyak orang yang
mengharapkan bahwa hal seperti itu juga terjadi dalam dunia politik. Tetapi justru
penerimaan yang terlalu mudah atas pandangan ini mengundang tentangan dari kelompok
yang mepertahankan relativisme kebudayaan, yang mempermasalahkan kebenaran dari
identifikasi ciri-ciri masyarakat industry yaitu barat yang dipakai sebagai
standard kontemporer dan universal bagi setiap system politik.
Walaupun demikian ,dalam perkembangan
sejarah dunia memang dapat ditelusuri pertumbuhan kebiasan-kebiasan dan bahkan norma
social yang semakin tersebarluas didunia dan oleh orang umumnya dirasakan sebagai
sesuatu yang harus diterima oleh setiap pemerintahan. Banyak dari
standard-standard ini dapat ditelusur kembali pada kebangkitan masyarakat
industry dan pertumbuhan ilmu dan teknologi, tetapi sebagian besar dari padanya
saat ini mempunyai dinamikanya sendiri. Partisipasi massa, misalnya mencerminkan
kenyataan social dari kehidupan masyarakat industry, tetapi juga telah dianggap
sebagai hak mutlak dalam semangat zaman massa kini. Cita-cita lainnya, seperti tuntutan
akan hukum yang universal, penghargaan yang lebih berdasar prestasi daripada berdasar
kelahiran, dan konsep-konsep umum mengenai keadilan dan kewarganegaraan,
sekarang nampaknya memperoleh kedudukan tinggi dalam kebudayaan, sehingga cukup
beralasan untuk disebut sebagai standard yang universal bagi kehidupan politik
modern. (Drs. Yahyamuhaimin, 1982:7)
BAB III
A.
Kesimpulan
§
Pembangunan politik selalu didasarkan
oleh pancasila
§
Semua pikiran, tindakan Negara
harus bisa dikembalikan pada aspek pancasila
§
Pancasila merupakan karakter bangsa
Indonesia yang terpendam sejak jaman penjajahan, dan Sukarno yang merumuskannya
kembali